Rabu, 09 Desember 2015

First Step- Paradigma Sosiologi



PARADIGMA SOSIOLOGI

PENDAHULUAN

Sosiologi lahir di tengah-tengah persaingan pengaruh antara filsafat dan psikologi, oleh karena itu tak mengherankan kalau pengaruh kedua cabang ilmu ini masih saja terasa sampai saat ini. Emile Durkheim adalah orang pertama yang mencoba melepaskan sosiologi dari dominasi kedua kekuatan yang mempengaruhinya itu. Durkheim terutama berusaha melepaskan sosiologi dari alam filsafat positif Auguste Comte untuk kemudian meletakkan sosiologi ke atas dunia empiris. Dua karyanya yang besar dan berpengaruh itu semula disusunnya dalam rangka usaha untuk melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat filsafat Comte dan Herbert Spencer. Masing-masing adalah Suicide (1951) danThe Rule of Sociological Method (1964).
Suicide adalah hasil karya Durkheim yang didasarkan atas hasil penelitian empiris terhadap gejala bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial. Sedangkan The Rule Of Sosiological Method berintikan konsep-konsep dasar tentang metode yang dapat dipakai untuk melakukan penelitian empiris dalam lapangan sosiologi,
Auguste Comte mendapat kehormatan sebagai bapak sosiologi melalui karya filsafat positifnya. Ia merupakan orang pertama yang mengusulkan pemberian nama sosiologi terhadap keseluruhan pengetahuan manusia tentang kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, Durkheim menempati posisi yang sangat penting pula dalam mengembangkan sosiologi modern sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Peranan Durkheim yang terpenting terletak pada usahanya dalam merumuskan objek studi sosiologi.

Durkheim adalah orang pertama yang menunjukkan fakta sosial (social fact) sebagai pokok persoalan yang harus dipelajari oleh disiplin sosiologi. Fakta sosial dinyatakannya sebagai barang sesuatu yang berbeda dari dunia ide yang menjadi sasaran penyelidikan dari filsafat. Menurut Durkheim, fakta sosial tak dapat dipelajari dan difahami hanya dengan melalui kegiatan mental murni atau melalui proses mental yang disebut pemikiran spekulatif.

Untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam dalam mempelajari objek studinya. Dengan menerangkan tentang obyek penyelidikan  sosiologi inilah  Durkheim berusaha untuk melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat positif Comte dan Spencer yang mengarahkan sosiologi kepada dunia ide, yang hanya dapat dipahami melalui pemikiran spekulatif. Dengan meletakkan fakta sosial sebagai sasaran yang harus dipelajari oleh sosiologi, berarti menempatkan sosiologi sebagai suatu disiplin yang bersifat empiris dan berdiri sendiri terlepas dari pengaruh filsafat.

Dalam perkambangan selanjutnya setelah terlepas dari pengaruh filsafat dan psikologi, sosiologi mulai memasuki arena pergulatan pemikiran yang bersifat interen di kalangan teoritisnya sendiri. Pergulatan yang bersifat interen ini hingga sekarang masih saja berlangsung. Perkembangan sosiologi ditandai dan tercermin dari adanya berbagai paradigma di dalamnya.

Setelah mengikuti perkuliahan dan mempelajari tentang paradigma sosiologi, mahasiswa diharapkan dapat :
1. menjelaskan pengertian paradigma sosiologi
2. menjelaskan sebab timbulnya berbagai paradigma sosiologi
3. menjelaskan 3 paradigma sosiologi yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi
    sosial, paradigma perilaku sosial.
4. menjelaskan hubungan antara paradigma yang satu dengan yang lainnya.

A.  Latar Belakang Munculnya Paradigma Sosiologi

Istilah  paradigma ini pertama kali diperkenal oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (1962), intinya menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah terjadi  secara kumulatif tetapi secara revolusi. Ia berpendapat bahwa sementara kumulatif memainkan peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, maka sebenarnya perubahan utama dan penting dalam ilmu pengetahuan itu terjadi sebagai akibat dari revolusi.

Model perkembangan ilmu pengetahuan menurut Kuhn adalah sebagai berikut :
Parad I – Normal Science – Anomalies – Crisis – Revolusi – Parad II

Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma tertentu, yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (Subject matter) dari suatu cabang ilmu.

Normal Science adalah suatu periode akumulasi ilmu pengetahuan, di mana para ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh. Namun para ilmuwan tidak dapat mengelakkan pertentangan dengan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi (anomalies) karena tidak mampunya paradigma I memberikan penjelasan secara memadai terhadap persoalan yang timbul. Selama penyimpangan memuncak, suatu krisis akan timbul dan paradigma itu sendiri mulai disangsikan validitasnya. Bila krisis sudah sedemikian seriusnya maka suatu revolusi terjadi dan paradigma yang baru akan muncul sebagai yang mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh paradigma sebelumnya. Jadi dalam perode revolusi telah terjadi suatu perubahan yang besar dalam ilmu pengetahuan. Paradigma yang lama telah mulai menurun pengaruhnya, digantikan oleh paradigma baru yang lebih dominan. 

Dalam perkembangan selanjutnya Masterman mencoba mereduksi konsep paradigma Kuhn menjadi tiga tipe, yakni ; Paradigma metafisik (metaphisical paradigm), paradigma sosiologis (Sosiological paradigm) dan paradigma konstrak (costruct paradigm). Robert Friedrichs adalah orang pertama yang mencoba merumuskan pengertian Paradigma ini sebagai upaya menganalisa perkembangan sosiologi, ia merumumuskan paradigma “ sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajarinya. (a fundamental image a discipline has of its subject matter).

Lebih jauh George Ritzer, dengan mensintesakan pengertian paradigma yang dikemukakan oleh Kuhn, Masterman dan Friedrichs, secara lebih jelas bahwa paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline).

Persoalannya sekarang adalah mengapa terjadi perbedaan antar komunitas atau sub-komunitas dalam suatu cabang ilmu, khususnya dalam Sosiologi, George Ritzer mengungkapkan tiga faktor, yakni :
1. Karena dari semula pandangan filsafat yang mendasari pemikiran ilmuwan tentang
    apa  yang semestinya menjadi subtansi itu berbeda, dengan kata lain diantara
    komunitas-komunitas ilmuwan itu terdapat perbedaan pandangan yang mendasar
    tentang pokok persoalan apa yang semestinya dipelajari.
2. Sebagai konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda itu maka teori-teori
    yang  dibangun dan dikembangkan oleh masing-masing komunitas itu berbeda, pada   
    masing-masing komunitas ilmuwan berusaha bukan saja mempertahankan kebenaran
    teorinya tetapi juga berusaha melancarkan kecaman terhadap kelemahan teori dari
    komunitas ilmuwan lain.
3. Metode yang  dipergunakan untuk memahami substansi ilmu itu juga berbeda.

Ritzer menilai bahwa sosiologi itu terdiri atas kelipatan beberapa paradigma (multiple paradigm), pergulatan pemikiran sedemikian itu dijelaskan dalam uraian tentang masing masing paradigma dibawah ini.

B.  Paradigma Fakta Sosial

Exemplar paradigma fakta sosial ini diambil dari kedua karya Durkheim. Durkheim meletakkan landasan paradigma fakta social melalui karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Sucide (1897). Durkheim melihat sosiologi yang baru lahir itu dalam upaya untuk memperoleh kedudukan sebagai cabang ilmu social yang berdiri sendiri, tengah berada dalam ancaman bahaya kekuatan pengaruh dua cabang ilmu yang telah berdiri kokoh yakni filsafat dan psikologi. Menurut Durkheim, riset empiris adalah yang membedakan antara sosiologi dengan filsafat. Kenyataan tentang hidup bermasyarakat nyata adalah sebagai obyek studi sosiologi menurut Durkheim, bukan ide keteraturan masyarakat (social order) yang lebih bernilai filosofis.

Fakta sosial menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi, fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Menurut Durkheim fakta sosial tidak dapat dipelajari melalui introspeksi, fakta sosial harus diteliti dalam dunia nyata. Lebih jauh Durkheim menyebutkan fakta sosial terdiri atas dua macam :

1.  Dalam bentuk material, yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan
     diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata
     (external world)  contohnya arsitektur dan norma hukum.

2. Dalam bentuk non material, yaitu sesuatu yang dianggap nyata (external), fakta sosial
    jenis ini merupakan fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya dapat muncul
    dari dalam kesadaran manusia, contohnya egoisme, altrusisme dan opini.

Fakta Sosial yang berbentuk material lebih mudah difahami, misalnya norma hukum jelas merupakan barang sesuatu yang nyata ada dan berpengaruh terhadap kehidupan individu, begitu pula arsitektur.

Dalam paradigma ini pokok persoalan yang menjadi pusat perhatian adalah fakta-fakta sosial yang pada garis besarnya terdiri atas dua tipe, masing-masing struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Norma-norma dan pola nilai ini biasa disebut dengan pranata, sedangkan jaringan hubungan sosial dimana interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir serta melalui mana posisi-posisi sosial dari individu dan sub kelompok dapat dibedakan, sering diartikan sebagai struktur sosial. Dengan demikian struktur sosial dan pranata sosial inilah yang menjadi pokok persoalan persoalan penyelidikan sosiologi menurut paradigma fakta sosial. 

Ada empat teori yang tergabung dalam paradigma fakta sosial ini seperti teori fungsionalisme structural, teori konflik, teori system dan teori sosiologi makro, dimana dua teori yang paling dominan didalamnya yakni (1) Teori Fungsionalisme Struktural dan (2) Teori Konflik.

Metode observasi tidak cocok untuk studi fakta social. Fakta social tidak dapat diamati secara langsung, hanya dapat dipelajari melalui pemahaman (interpretative understanding). Penganut paradigma fakta sosial cenderung mempergunakan metode kuesioner dan interview dalam penelitian empiris mereka. Namun, penggunaan metode kuesioner dan interview oleh para penganut paradigma fakta social ini mengandung ironi karena kedua metode ini tidak mampu menyajikan secara sungguh-sungguh bersifat fakta social. Informasi yang dikumpulkan melalui kuesioner dan interview banyak mengandung unsure subyektifitas dari si informan.

1. Teori Fungsionalisme Struktural

Teori Fungsionalisme Struktural menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan. Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, adalah fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalu tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.

Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi sutu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik, penganut teori Fungsionalisme Struktural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan Robert K. Merton sebagai penganut teori ini berpendapat bahwa objek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti; peranan sosial, pola-pola institusional,  proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial.

Penganut teori fungsional menganggap segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat tertentu serba fungsional dalam artian positif dan negative. Merton mengistilahkan  ‘fungsional dan disfungsional’. Contohnya; perbudakan dalam sistem sosial Amerika Serikat lama khususnya bagian selatan. Perbudakan jelas fungsional bagi masyarakat Amerika Serikat  kulit putih. Karena sistem tersebut dapat menyediakan tenaga buruh yang murah, memajukan ekonomi pertanian kapas serta menjadi sumber status sosial terhadap kulit putih. Tetapi sebaliknya, perbudakan bersifat disfungsi. Sistem perbudakan membuat orang sangat tergantung kepada sistem ekonomi agraris sehingga tidak siap untuk memasuli industrialisasi.

Dari pendapat Merton tentang fungsi, maka ada konsep barunya yaitu mengenai sifat dari fungsi. Merton membedakan atas fungsi manifest dan fungsi latent. Fungsi manifest adalah fingsi yang diharapkan (intended) atau fungsional. Fungsi manifest dari institusi perbudakan di atas adalah untuk meningkatkan produktifitas di Amerika Selatan. Sedangkan fungsi latent adalah sebaliknya yaitu fungsi yang tidak diharapkan, sepanjang menyangkut contoh di atas  fungsai latentnya adalah menyediakan kelas rendah yang luas.

Penganut Teori Fungsionalisme Struktural sering dituduh mengabaikan variabel konflik dan perubahan sosial dalam teori-teori mereka. Karena terlalu memberikan tekanan pada keteraturan (order)  dalam masyarakat dan mengabaikan konflik dan perubahan sosial, mengakibatkan golongan fungsional ini dinilai sebagai secara ideologis sebagai konservatif. Bahkan ada yang menilai golongan fungsional ini sebagai agen teoritis daristatus quo.

Hal penting yang dapat disimpulkan bahwa masyarakat menurut kacamata teori fungsional senantiasa berada dalam keadaaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula dengan institusi yang ada, diperlukan oleh sistem sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dalam kondisi dinamika dalam keseimbangan.


2. Teori Konflik

 Teori Konflik dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme structural. Tokoh utama teori ini adalah Ralp Dahrendorf. Proposisi yang dikemukakan oleh penganut Teori Konfik bertentangan dengan proposisi yang dikemukakan oleh penganut Teori Fungsionalisme Struktural. Perbedaan proposisi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

Menurut teori Fungsionalisme Struktural :
1. Masyarakat berada pada kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi
    keseimbangan
2. Setiap elemen atau setiap institusi  memberikan dukungan terhadap stabilitas.
3. Anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan
     moralitas   umum.
4. Konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi latent, fungsi manifest, dan
    keseimbangan (equilibrium)

Menurut Teori Konflik :
1. Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh
    pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya.
2. Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap desintegrasi social.
3. Keteraturan dalam masyarakat hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau
    pemaksaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
4. Konsep-konsep sentral Teori Konflik adalah wewenang dan posisi, keduanya
    merupakan  fakta sosial.  Distribusi kekuasaan dan wewenang  secara tidak merata
    tanpa terkecuali  menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis.
    Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam
    masyarakat.

Menurut Dahrendorf  kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian masyarakat disebut sebagai Dahrendorf sebagai persekutuan yang terkoordinasi secara paksa (imferatively coordinated associations).  

Oleh karena kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dengan yang dikuasai, maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Pertentangan itu terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golonganyang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan kepentingan ini selalu ada di setiap waktu dan dalam setiap struktur.

Menurut Dahrendorf terdapat mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik, golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif.

Pierre van Berghe (1963) mengemukakan empat fungsi konflik;
1.  Sebagai alat untuk memelihara solidaritas.
2.  Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain.
3.  Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.
4.  Fungsi komunikasi.Sebelum konflik, kelompok tertentu mungkin tidak mengetahuai
     posisi lawan. Tapi dengan adanya konflik, posisi dan batas antara kelompok menjadi  
     lebih jelas. Individu dan kelompok tahu secara pasti di mana mereka berada dan
     karena  itu dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan lebih
     tepat.

Kesimpulan penting yang dapat diambil adalah bahwa teori konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat disamping konflik itu sendiri. Masyarakat selalu dipandang dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan. Seperti membenarkan Hobbes yang mengatakan : bellum omnium contra omnes (perang antara semua melawan semua).

C.  Paradigma Definisi Sosial

Max Weber sebagai tokoh paradigma ini mengartikan sosiologi sebagai suatu studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Yang dimaksud tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau objek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang lain bukan merupakan tindakan sosial. Tindakan seseorang melempar batu ke sungai bukan tindakan social. Tapi tindakan tersebut dapat berubah menjadi tindakan social kalau dengan melemparkan batu tersebut menimbulkan reaksi dari orang lain seperti mengganggu seseorang yang sedang memancing.

Secara definitif Weber merumuskan Sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasarnya. Pertama konsep tindakan sosial, kedua konsep tentang penafsiran dan pemahaman.Konsep terakhir ini ini menyangkut metode untuk menerangkan yang pertama.

Konsep pertama tentang tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tidakan yang bersifat ‘membatin’ atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan pasif dalam situasi tertentu.

Bertolak dari  konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial sosial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu :
1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini
     meliputi berbagai tindakan nyata.
2.  Tindakan nyata dan yang bersifat, membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja
    diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4.  Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5.  Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.

Untuk mempelajari tindakan sosial itu Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding), atau menurut terminology Weber disebut dengan verstehen. Bila seseorang hanya berusaha meneliti perilaku (behavior) saja, dia tidak akan meyakini bahwa perbuatan itu mempunyai arti subyektif dan diarakan kepada orang lain. Maka yang perlu dipahami adalah motif dari tindakan tersebut.  Menurut Weber ada 2 cara memahami motif tindakan yaitu : 1) kesungguhan, 2) mengenangkan dan menyelami pengalaman si actor. Peneliti menempatkan dirinya dalam posisi si actor serta mencoba memahami sesuatu yang dipahami si actor.

Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya dalam empat tipe, dimana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami, empat tipe itu adalah :

a. Zwerk rational, yakni tindakan sosial murni,. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri.

b. Werktrational action, dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilinya itu merupakan yang paling tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan, namun tindakan ini rasional karena pilihan terhadap cara-cara sudah menentukan tujuan yang diinginkan.

c. Affectual action, adalah tindakan yang dibuat-buat, dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami kurang atau tidak rasional.
d.Traditional action, tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja.

Kedua tipe tindakan yang terakhir sering hanya merupakan tanggapan secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Karena itu tidak termasuk dalam jenis tindakan yang penuh arti yang menjadi sasaran penelitian sosiologi.

 Konsep kedua dari Weber adalah konsep tentang antar hubungan social (social relationship). Hubungan sosial didefinsikan sebagai tindakan yang beberapa orang aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dan dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Tidak semua kehidupan kolektif memnuhi syarat sebagai antar hubungan sosial, dimana tidak ada saling penyesuaian (mutual orientation) antara orang yang satu dengan yang lain meskipun ada sekumpulan orang yang diketemukan bersamaan.

Ada tiga teori yang termasuk ke dalam paradigma definisi sosial ini, yakni : Teori aksi (action theory), teori interaksionisme simbolik (symbolic interactionism) dan teori fhenomenologi (fhenomenology). Ketiga teori ini mempunyai kesamaan ide dasarnya yang berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang aktif dan  kreatif dari realitas sosialnya. Artinya tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial. Manusia mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial.


Di sini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial menganggap bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya. Sedangkan paradigma perilaku sosial (social behavior) adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku manusia senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuasaan atau kemungkinan penggunaaan kekuatan (re-enforcement).  

Penganut paradigma Definisi Sosial cenderung menggunakan metode observasi dalam penelitian mereka. Alasannya adalah untuk dapat memahami realitas intrasubjective danintersubjective dari tindakan sosial dan interaksi sosial. Namun kelemahan teknik observasi adalah ketika kehadiran peneliti di tengah-tengah kelompok yang diselidiki akan mempengaruhi tingkah laku subyek yang diselidiki itu. Lagipula tidak semua tingkah laku dapat diamati, seperti tingkah laku seksual misalnya.
1. Teori Aksi (Action Theory)

Tokoh-tokoh Teori Aksi di antaranya Florian Znaniecki, The Method of Sociology (1934) dan Social Actions (1936), Robert Mac Iver, Sociology: Its Structure and Changes (1931), Talcot Parsons; The Structure of Social Action (1937).

Beberapa asumsi dasar fundamental dari Teori Aksi dikemukakan Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parson sebagai berikut ;
a.  Tidakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi
     ekternal dalam posisinya sebagai obyek.
b. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan–tujuan
     tertentu, jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan.
c.  Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode serta
     perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
d.  Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah
     dengan sendirinya.
e.  Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang
     dan  yang telah dilakukannya.
f.   Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat
      pengambilan keputusan.
g.   Studi mengenai antar hubungan social memerlukan pemakaian teknik penemuan
      yang bersifat subjektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic
      reconstruction atau  seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience).

Kesimpulan utama yang dapat diambil adalah bahwa tindakan sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemua itu dibatasi kemungkinan-kemungkinannya oleh sistem kebudayaan dalam bentuk norma-norma, ide-de dan nilai-nilai sosial. Di dalam menghadapi yang yang bersifat kendala baginya itu, aktor mempunyai sesuatu di dalam dirinya berupa kemauan bebas.

2. Teori Interaksionisme Simbolik

Tokoh-tokoh teori Interaksionisme Simbolik adalah John Dewey, Charles Horton Cooley, G.H. Mead. Ide dasar teori ini bersifat menentang behaviorisme radikal yang dipelopori oelh JB Watson. Hal ini tercermin dari gagasan tokoh sentral teori ini yakni G.H. Mead yang bermaksud untuk membedakan teori interaksionisme simbolik dengan teori behavioralisme radikal.

Behaviorisme Radikal berpendirian bahwa perilaku individu adalah sesuatu yang dapat diamati. Mempelajari tinglahlaku (behavior) manusia secara obyektif dari luar. Penganut behaviorisme cenderung melihat perilaku manusia itu seperti perilaku binatang dalam arti hanya semata-mata merupakan hasil  rangsangan dari luar.

Mead dari Interaksionisme Simbolik, mempelajari tindakan sosial dengan mempergunakan teknik intropeksi untuk dapat mengetahui sesuatu yang melatarbrlakangi tindakan sosial tu dari sudut aktor dengan pengggunaan bahasa serta kemampuan belajar yang tidak dimiliki oleh binatang.

Menurut teori Interaksionisme Simbolik , fakta sosial bukanlah sesuatu yang mengendalikan dan memaksa tindakan manusia. Fakta sosial ditempatkan dalam kerangka simbol-simbol interaksi manusia. Teori ini menolak pandangan paradigma  fakta sosial dan paradigma perilaku sosial ( social behavior) yang tidak mengakui arti penting kedudukan individu. Padahal kenyataannya manusia mampu menciptakan dunianya sendiri.

Bagi paradigma fakta sosial, individu dipandangnya sebagai orang yang terlalu mudah dikendalikan oleh kekuatan yang berasal dari luar dirinya sendiri seperti  kultur, norma, dan peranan-peranan sosial. Sehingga  pandangan ini cenderung mengingkari kenyataan bahwa manusia mempunyai kepribadian sendiri. Sedangkan paradigma perilaku sosial melihat tingkah laku.

Beberapa asumsi tori Interaksionisme Simbolik  menurut Arnold Rose :
1. Manusia hidup dalam suatu lingkungan simbol-simbol. Manusia memberikan
    tanggapan terhadap simbol-simbol melalui proses belajar dan bergaul dalam
    masyarakat. Kemampuan  manusia berkomunikasi, belajar, serta memahami simbol-
    simbol itu merupakan kemampuan yang membedakan manusia dengan binatang.
2. Melalui simbol-simbol manusia berkemampaun menstimulir orang lain dengan cara 
    yang mungkin berbeda dari stimuli yang diterimanya dari orang lain.
3. Melalui komunikasi simbol-simbol dapat dipelajari sejumlah besar arti dan nilai-nilai,
    dan karena itu dapat dipelajari cara-cara tindakan orang lain.
4. Terdapat satuan-satuan kelompok yang mempunyai simbol-smbol yang sama., atau
     akan ada simbol kelompok.
5. Berfikir merupakan proses pencarian kemungkinan yang bersifat simbolis dan untuk
    mempelajari tindakan-tindakan yang akan datang, menaksir keuntungan dan kerugian
    relative menurut individual, di mana satu diantaranya dipilih untuk dilakukan.

Kesimpulan utama dari teori Interksionisme Simbolik bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antara individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahaminya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interkasi bukan semata-mata tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya, tetapi melalui proses belajar.


3. Teori Fenomenologi (Phenomenological Sociology)

Ada empat unsur pokok dari teori Fenomenologi Yaitu :
1. Perhatian terhadap aktor dengan memahami  makna tindakan aktor yang ditujukan
     kepada dirinya sendiri.
2. Memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting atau pokok dan kepada sikap
    yang wajar atau alamiah (natural attitude). Teori ini jelas bukan bermaksud fakta
     sosial secara langsung. Tetapi proses terbentuknya fakta sosial itulah yang menjadi
     pusat perhatiannya. Artinya bagaimana individu ikut serta dalam proses
     pembentukan dan pemeliharaan fakta-fakta sosial yang memaksa mereka itu.
3. Memusatkan perhatian kepada masalah makro. Maksudnya mempelajari proses
    pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka
    untuk  memahaminya dalam hubungannya dengan situasi tertentu.
4. Memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan proses tindakan. Berusaha memahami
    bagaimana keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan
    sehari-hari. Norma-norma dan aturan-aturan yang mengendalikan tindakan manusia
    dan yang memantapkan struktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi si aktor
    terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya.


D.  Paradigma Perilaku Sosial

Tokoh pendekatan behaviorisme ini adalah B.F. Skinner yang memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior. Skinner mengkritik obyek studi paradigma fakta sosial dan definisi sosial bersifat mistis tidak konkrit relistis. Obyek studi sosiologi yang konkrit realistis adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavior of man and contingencies of reinforcement).

Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiaannya kepada hubungan antara individu dengan lingkungannya, dimana lingkungan itu terdiri atas : a) bermacam-macam obyek social dan b) bermacam-macam obyek non sosial.  Prinsip yang menguasai antar hubungan individu dengan obyek sosial adalah  sama dengan prinsip yang menguasai hubungan antara individu dengan obyek non sosial.  Pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkahlaku.

Bagi paradigma perilaku sosial individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikan ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang datang dari luar dirinya. Jadi tingkah laku manusia lebih bersifat mekanik. Beda dengan paradigma definisi sosial yang menganggap aktor adalah dinamis dan mempunyai kekuatan kreatif di dalam proses interaksinya. Ada dua teori yang termasuk ke dalam paradigma Perilaku Sosial, yakni Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.

Paradigma ini lebih banyak menggunakan metode eksprimen dalam penelitiannya. Keutamaan metode eksprimen ini adalah memberikan kemungkinan terhadap penelitian untuk mengontrol dengan ketat obyek dan kondisi di sekitarnya. Metode ini memungkinkan pula untuk membuat penilaian dan pengukuran dengan tingkat ketepatan yang tinggi terhadap efek dari perubahan-perubahan tingkahlaku aktor yang ditimbulkan dengan sengaja di dalam eksprimen. Walaupun eksprimen merupakan suatu metode penelitian langsung yang agak baik terhadap tingkahlaku aktor, namun peneliti masih dituntut untuk mengamati perilaku lanjut aktor yang sedang diteliti.


1. Teori Behavioral Sociology

 Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Akibat tingkah laku diperlakukan sebagai variabel independen. Ini berarti teori ini berusaha menerangkan tingkah laku yang terjadi melalui akibat-akibat yang meengikutinya. Konsep dasar teori ini yang menjadi pemahamannya adalah “reinforcement” yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Tak ada sesuatu yang melekat dalam objek yang dapat menimbulkan ganjaran. Sesuatu ganjaran yang tak membawa pengaruh terhadap aktor  tidak akan diulang. Contohnya tentang makanan sebagai ganjaran yang umum dalam masyarakat. Tetapi bila sedang tidak lapar maka  makan tidak akan diulang. Bila si aktor telah kehabisan makanan, maka ia akan lapar dan makanan akan berfungsi sebagai pemaksa.


2. Teori  Exchange

Tokoh utama teori ini adalah George Homan, teori ini dibangun dengan maksud sebagai reaksi terhadap paradigma fakta sosial, yang menyerang ide  Durkheim secara langsung dari tiga jurusan, yakni :
a)  pandangan tentang emergence. Selama berlangsung interaksi timbul fenomena baru 
     yang tidak perlu proposisi baru pula untuk menerangkan sifat fenomena baru yang
     timbul tersebut.
b)  pandangan tentang psikologi. Sosiologi dewasa ini sudah berdiri sendiri lepas dari     
     pengaruh psikologi.
c.  Metode penjelasan Durkheim. Fakta  sosial tertentu selalu menjadi penyebab
     fakta sosial yang lain yang perlu dijelaskan melalui pendekatan perilaku 
     (behavioral), yang   bersifat psikologi.

Keseluruhan materi Teori Exchange secara garis besarnya dapat dikembalikan pada 5 proposisi George Homan yaitu :
1.  Jika tingkahlaku tingkahlaku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus
     dan situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkahlaku atau
     kejadian yang mempunyai hubungan dan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi
     atau dilakukan.
2. Menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima. Makin sering dalam peristiwa tertentu
    tingkahlaku seseorang memberikan ganjaran terhadap tingkahlaku orang lain, makin
    sering pula orang lain itu mengulang tingkahlakunya itu.
3. Memberikan arti atau nilai pada tingkahlaku yang di arahkan oleh orang lain terhadap
    aktor. Makin bernilai bagi seseorang sesuatu tingkahlaku orang lain yang ditujukan
    kepadanya makin besar kemungkinan  atau makin sering ia akan mengulangi
    tingkahlakunya itu.
4. Makin sering orang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, makin
    berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya.
5. Makin dirugikan  seseorang dalam dalam hubungannya dengan orang lain, makin
    besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi.


RINGKASAN

Paradigma adalah pandangan fundamental tentang apa yang  menjadi pokok persoalan (subject matter) disiplin tertentu. Paradigma adalah kesatuan konsensus yang terluas dalam satu disiplin yang membedakan antara komunitas ilmuwan (sub komunitas) yang satu dengan  yang lain. Ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan paradigmatik dalam sosiologi ; 1) perbedaan pandangan pandangan filsafat yang mendasari pemikiran masing-masing sosiolog tentang pokok persoalan yang semestinya dipelajari sosilogi. 2)  Akibat logis yang pertama, maka teori-teori yang dibangun dan dikembangkan masing-masing komunitas ilmuwan berbeda. 3) Metode yang dipakai untuk memahami dan menerangkan substansi disiplin inipun berbeda. Atas dasar perbedaan pandangan mengenai apa yang semestinya dipelajari dalam sosiologi itulah terdapat tiga paradigma sosiologi dewasa ini yaitu, paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial.

Paradigma Fakta Sosial menempatkan fakta sosial menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Bahwa fakta sosial tidak dapat dipelajari dengan introspeksi melainkan harus diteliti secara empiris. Dalam penelitiannya penganut paradigma ini cenderung menggunakan metode interview dan kuesioner. Exemplar paradigma fakta social adalah karya Durkheim Suicide dan The Rule of Sociological Method. Dalam paradigma ini pokok persoalan yang menjadi pusat perhatian adalah fakta-fakta sosial yang pada garis besarnya terdiri atas dua tipe, masing-masing struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Teori yang tergabung dalam paradigma ini adalah teori fungsionalisme structural, teori konflik, teori system, dan sosiologi makro.

Paradigma Definisi Sosial menempatkan pokok persoalan sosiologi adalah proses pendefinisian sosial dan akibat-akibat dari suatu aksi serta interaksi sosial. Exemplar paradigma ini adalah karya Max Weber tentang tindakan sosial (social action) Paradigma Definisi Sosial secara pasti memandang manusia sebagai orang yang aktif menciptakan kehidupan sosialnya sendiri. Ada tiga teori yang termasuk dalam paradigma ini yaitu : teori aksi sosial, teori interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi. Metode  yang umum digunakan penganut paradigma definisi sosial ialah observasi.

Paradigma Perilaku Sosial menempatkan pokok persoalan sosiologi ialah perilaku dan perulangannya. Bagi paradigma ini perilaku sosial individu kurang sekali memiliki kebebasan. Ada dua toeri yang termasuk dalam paradigma ini yaitu teori sosiologi behavioral dan teori pertukaran (exchange theory). Paradigma Perilaku Sosial lebih banyak menggunakan metode eksprimen dalam penelitiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar