PARADIGMA SOSIOLOGI
PENDAHULUAN
Sosiologi lahir di tengah-tengah
persaingan pengaruh antara filsafat dan psikologi, oleh karena itu tak
mengherankan kalau pengaruh kedua cabang ilmu ini masih saja terasa sampai saat
ini. Emile Durkheim adalah orang pertama yang mencoba melepaskan sosiologi dari
dominasi kedua kekuatan yang mempengaruhinya itu. Durkheim terutama berusaha
melepaskan sosiologi dari alam filsafat positif Auguste Comte untuk kemudian
meletakkan sosiologi ke atas dunia empiris. Dua karyanya yang besar dan
berpengaruh itu semula disusunnya dalam rangka usaha untuk melepaskan sosiologi
dari pengaruh filsafat filsafat Comte dan Herbert Spencer. Masing-masing
adalah Suicide (1951) danThe Rule of Sociological Method (1964).
Suicide adalah hasil karya
Durkheim yang didasarkan atas hasil penelitian empiris terhadap gejala bunuh
diri sebagai suatu fenomena sosial. Sedangkan The Rule Of Sosiological
Method berintikan konsep-konsep dasar tentang metode yang dapat
dipakai untuk melakukan penelitian empiris dalam lapangan sosiologi,
Auguste Comte mendapat kehormatan
sebagai bapak sosiologi melalui karya filsafat positifnya. Ia merupakan orang
pertama yang mengusulkan pemberian nama sosiologi terhadap keseluruhan
pengetahuan manusia tentang kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, Durkheim
menempati posisi yang sangat penting pula dalam mengembangkan sosiologi modern
sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Peranan Durkheim yang terpenting
terletak pada usahanya dalam merumuskan objek studi sosiologi.
Durkheim adalah orang pertama yang
menunjukkan fakta sosial (social fact) sebagai pokok persoalan yang
harus dipelajari oleh disiplin sosiologi. Fakta sosial dinyatakannya sebagai
barang sesuatu yang berbeda dari dunia ide yang menjadi sasaran penyelidikan
dari filsafat. Menurut Durkheim, fakta sosial tak dapat dipelajari dan difahami
hanya dengan melalui kegiatan mental murni atau melalui proses mental yang
disebut pemikiran spekulatif.
Untuk memahaminya diperlukan suatu
kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam dalam
mempelajari objek studinya. Dengan menerangkan tentang obyek
penyelidikan sosiologi inilah Durkheim berusaha untuk
melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat positif Comte dan Spencer yang
mengarahkan sosiologi kepada dunia ide, yang hanya dapat dipahami melalui
pemikiran spekulatif. Dengan meletakkan fakta sosial sebagai sasaran yang harus
dipelajari oleh sosiologi, berarti menempatkan sosiologi sebagai suatu disiplin
yang bersifat empiris dan berdiri sendiri terlepas dari pengaruh filsafat.
Dalam perkambangan selanjutnya setelah
terlepas dari pengaruh filsafat dan psikologi, sosiologi mulai memasuki arena
pergulatan pemikiran yang bersifat interen di kalangan teoritisnya sendiri.
Pergulatan yang bersifat interen ini hingga sekarang masih saja berlangsung.
Perkembangan sosiologi ditandai dan tercermin dari adanya berbagai paradigma di
dalamnya.
Setelah mengikuti perkuliahan dan
mempelajari tentang paradigma sosiologi, mahasiswa diharapkan dapat :
1. menjelaskan pengertian paradigma
sosiologi
2. menjelaskan sebab timbulnya berbagai
paradigma sosiologi
3. menjelaskan 3 paradigma sosiologi
yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi
sosial,
paradigma perilaku sosial.
4. menjelaskan hubungan antara paradigma
yang satu dengan yang lainnya.
A. Latar Belakang Munculnya
Paradigma Sosiologi
Istilah paradigma ini pertama
kali diperkenal oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of
Scientific Revolution (1962), intinya menyatakan bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif tetapi secara
revolusi. Ia berpendapat bahwa sementara kumulatif memainkan peranan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan, maka sebenarnya perubahan utama dan penting
dalam ilmu pengetahuan itu terjadi sebagai akibat dari revolusi.
Model perkembangan ilmu pengetahuan
menurut Kuhn adalah sebagai berikut :
Parad I – Normal Science – Anomalies –
Crisis – Revolusi – Parad II
Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada
waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma tertentu, yakni suatu pandangan
yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (Subject matter)
dari suatu cabang ilmu.
Normal Science adalah suatu
periode akumulasi ilmu pengetahuan, di mana para ilmuwan bekerja dan
mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh. Namun para ilmuwan tidak dapat
mengelakkan pertentangan dengan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
(anomalies) karena tidak mampunya paradigma I memberikan penjelasan secara
memadai terhadap persoalan yang timbul. Selama penyimpangan memuncak, suatu
krisis akan timbul dan paradigma itu sendiri mulai disangsikan validitasnya.
Bila krisis sudah sedemikian seriusnya maka suatu revolusi terjadi dan
paradigma yang baru akan muncul sebagai yang mampu menyelesaikan persoalan yang
dihadapi oleh paradigma sebelumnya. Jadi dalam perode revolusi telah terjadi
suatu perubahan yang besar dalam ilmu pengetahuan. Paradigma yang lama telah
mulai menurun pengaruhnya, digantikan oleh paradigma baru yang lebih
dominan.
Dalam perkembangan selanjutnya Masterman
mencoba mereduksi konsep paradigma Kuhn menjadi tiga tipe, yakni ; Paradigma
metafisik (metaphisical paradigm), paradigma sosiologis (Sosiological
paradigm) dan paradigma konstrak (costruct paradigm). Robert
Friedrichs adalah orang pertama yang mencoba merumuskan pengertian Paradigma
ini sebagai upaya menganalisa perkembangan sosiologi, ia merumumuskan paradigma
“ sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajarinya.
(a fundamental image a discipline has of its subject matter).
Lebih jauh George Ritzer, dengan
mensintesakan pengertian paradigma yang dikemukakan oleh Kuhn, Masterman dan
Friedrichs, secara lebih jelas bahwa paradigma adalah pandangan yang mendasar
dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline).
Persoalannya sekarang adalah mengapa
terjadi perbedaan antar komunitas atau sub-komunitas dalam suatu cabang ilmu,
khususnya dalam Sosiologi, George Ritzer mengungkapkan tiga faktor, yakni :
1. Karena dari semula pandangan filsafat
yang mendasari pemikiran ilmuwan tentang
apa yang
semestinya menjadi subtansi itu berbeda, dengan kata lain diantara
komunitas-komunitas
ilmuwan itu terdapat perbedaan pandangan yang mendasar
tentang pokok
persoalan apa yang semestinya dipelajari.
2. Sebagai konsekuensi logis dari
pandangan filsafat yang berbeda itu maka teori-teori
yang dibangun
dan dikembangkan oleh masing-masing komunitas itu berbeda,
pada
masing-masing
komunitas ilmuwan berusaha bukan saja mempertahankan kebenaran
teorinya tetapi
juga berusaha melancarkan kecaman terhadap kelemahan teori dari
komunitas
ilmuwan lain.
3. Metode yang dipergunakan untuk
memahami substansi ilmu itu juga berbeda.
Ritzer menilai bahwa sosiologi itu
terdiri atas kelipatan beberapa paradigma (multiple paradigm),
pergulatan pemikiran sedemikian itu dijelaskan dalam uraian tentang masing
masing paradigma dibawah ini.
B. Paradigma Fakta Sosial
Exemplar paradigma fakta sosial ini
diambil dari kedua karya Durkheim. Durkheim meletakkan landasan paradigma fakta
social melalui karyanya The Rules of Sociological Method (1895)
dan Sucide (1897). Durkheim melihat sosiologi yang baru lahir
itu dalam upaya untuk memperoleh kedudukan sebagai cabang ilmu social yang
berdiri sendiri, tengah berada dalam ancaman bahaya kekuatan pengaruh dua
cabang ilmu yang telah berdiri kokoh yakni filsafat dan psikologi. Menurut
Durkheim, riset empiris adalah yang membedakan antara sosiologi dengan
filsafat. Kenyataan tentang hidup bermasyarakat nyata adalah sebagai obyek
studi sosiologi menurut Durkheim, bukan ide keteraturan masyarakat (social
order) yang lebih bernilai filosofis.
Fakta sosial menjadi pokok persoalan
penyelidikan sosiologi, fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing)
yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh
ilmu pengetahuan. Menurut Durkheim fakta sosial tidak dapat dipelajari melalui
introspeksi, fakta sosial harus diteliti dalam dunia nyata. Lebih jauh Durkheim
menyebutkan fakta sosial terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material,
yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan
diobservasi.
Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata
(external
world) contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non material, yaitu
sesuatu yang dianggap nyata (external), fakta sosial
jenis ini
merupakan fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya dapat muncul
dari dalam
kesadaran manusia, contohnya egoisme, altrusisme dan opini.
Fakta Sosial yang berbentuk material
lebih mudah difahami, misalnya norma hukum jelas merupakan barang sesuatu yang
nyata ada dan berpengaruh terhadap kehidupan individu, begitu pula arsitektur.
Dalam paradigma ini pokok persoalan yang
menjadi pusat perhatian adalah fakta-fakta sosial yang pada garis besarnya
terdiri atas dua tipe, masing-masing struktur sosial (social structure)
dan pranata sosial (social institution). Norma-norma dan pola nilai ini
biasa disebut dengan pranata, sedangkan jaringan hubungan sosial dimana
interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir serta melalui mana
posisi-posisi sosial dari individu dan sub kelompok dapat dibedakan, sering
diartikan sebagai struktur sosial. Dengan demikian struktur sosial dan pranata
sosial inilah yang menjadi pokok persoalan persoalan penyelidikan sosiologi
menurut paradigma fakta sosial.
Ada empat teori yang tergabung dalam
paradigma fakta sosial ini seperti teori fungsionalisme structural, teori
konflik, teori system dan teori sosiologi makro, dimana dua teori yang paling
dominan didalamnya yakni (1) Teori Fungsionalisme Struktural dan (2) Teori
Konflik.
Metode observasi tidak cocok untuk studi
fakta social. Fakta social tidak dapat diamati secara langsung, hanya dapat
dipelajari melalui pemahaman (interpretative understanding). Penganut
paradigma fakta sosial cenderung mempergunakan metode kuesioner dan interview
dalam penelitian empiris mereka. Namun, penggunaan metode kuesioner dan
interview oleh para penganut paradigma fakta social ini mengandung ironi karena
kedua metode ini tidak mampu menyajikan secara sungguh-sungguh bersifat fakta
social. Informasi yang dikumpulkan melalui kuesioner dan interview banyak
mengandung unsure subyektifitas dari si informan.
1. Teori Fungsionalisme Struktural
Teori Fungsionalisme Struktural
menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan
dalam masyarakat. Konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten,
fungsi manifest dan keseimbangan. Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu
sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkitan
dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian
akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah
bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, adalah fungsional terhadap yang
lain. Sebaliknya kalu tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan
hilang dengan sendirinya.
Secara ekstrim penganut teori ini
beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi
sutu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam
masyarakat. Kalau terjadi konflik, penganut teori Fungsionalisme Struktural
memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga
masyarakat tetap dalam keseimbangan Robert K. Merton sebagai penganut teori ini
berpendapat bahwa objek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti; peranan
sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok,
pengendalian sosial.
Penganut teori fungsional menganggap
segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat tertentu serba fungsional
dalam artian positif dan negative. Merton mengistilahkan ‘fungsional
dan disfungsional’. Contohnya; perbudakan dalam sistem sosial Amerika Serikat
lama khususnya bagian selatan. Perbudakan jelas fungsional bagi masyarakat
Amerika Serikat kulit putih. Karena sistem tersebut dapat menyediakan
tenaga buruh yang murah, memajukan ekonomi pertanian kapas serta menjadi sumber
status sosial terhadap kulit putih. Tetapi sebaliknya, perbudakan bersifat
disfungsi. Sistem perbudakan membuat orang sangat tergantung kepada sistem
ekonomi agraris sehingga tidak siap untuk memasuli industrialisasi.
Dari pendapat Merton tentang fungsi,
maka ada konsep barunya yaitu mengenai sifat dari fungsi. Merton membedakan
atas fungsi manifest dan fungsi latent. Fungsi
manifest adalah fingsi yang diharapkan (intended) atau fungsional.
Fungsi manifest dari institusi perbudakan di atas adalah untuk
meningkatkan produktifitas di Amerika Selatan. Sedangkan fungsi latent adalah
sebaliknya yaitu fungsi yang tidak diharapkan, sepanjang menyangkut contoh di
atas fungsai latentnya adalah menyediakan kelas rendah yang luas.
Penganut Teori Fungsionalisme Struktural
sering dituduh mengabaikan variabel konflik dan perubahan sosial dalam
teori-teori mereka. Karena terlalu memberikan tekanan pada keteraturan (order) dalam
masyarakat dan mengabaikan konflik dan perubahan sosial, mengakibatkan golongan
fungsional ini dinilai sebagai secara ideologis sebagai konservatif. Bahkan ada
yang menilai golongan fungsional ini sebagai agen teoritis daristatus quo.
Hal penting yang dapat disimpulkan bahwa
masyarakat menurut kacamata teori fungsional senantiasa berada dalam keadaaan
berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap
peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian
pula dengan institusi yang ada, diperlukan oleh sistem sosial itu, bahkan
kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dalam kondisi
dinamika dalam keseimbangan.
2. Teori Konflik
Teori Konflik dibangun dalam
rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme
structural. Tokoh utama teori ini adalah Ralp Dahrendorf. Proposisi yang
dikemukakan oleh penganut Teori Konfik bertentangan dengan proposisi yang
dikemukakan oleh penganut Teori Fungsionalisme Struktural. Perbedaan proposisi
tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
Menurut teori Fungsionalisme Struktural
:
1. Masyarakat berada pada kondisi statis
atau tepatnya bergerak dalam kondisi
keseimbangan
2. Setiap elemen atau setiap
institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas.
3. Anggota masyarakat terikat secara
informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan
moralitas umum.
4. Konsep-konsep utamanya adalah fungsi,
disfungsi, fungsi latent, fungsi manifest, dan
keseimbangan (equilibrium)
Menurut Teori Konflik :
1. Masyarakat senantiasa berada dalam
proses perubahan yang ditandai oleh
pertentangan
yang terus menerus di antara unsur-unsurnya.
2. Setiap elemen memberikan sumbangan
terhadap desintegrasi social.
3. Keteraturan dalam masyarakat hanyalah
disebabkan karena adanya tekanan atau
pemaksaan dari
atas oleh golongan yang berkuasa.
4. Konsep-konsep sentral Teori Konflik
adalah wewenang dan posisi, keduanya
merupakan fakta
sosial. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata
tanpa
terkecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara
sistematis.
Perbedaan
wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam
masyarakat.
Menurut Dahrendorf kekuasaan
dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan bawah dalam
setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang
tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian
masyarakat disebut sebagai Dahrendorf sebagai persekutuan yang terkoordinasi
secara paksa (imferatively coordinated associations).
Oleh karena kekuasaan selalu memisahkan
dengan tegas antara penguasa dengan yang dikuasai, maka dalam masyarakat selalu
terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Pertentangan itu terjadi dalam
situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo
sedangkan golonganyang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan.
Pertentangan kepentingan ini selalu ada di setiap waktu dan dalam setiap
struktur.
Menurut Dahrendorf terdapat mata rantai
antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah
perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik, golongan yang terlibat
melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial.
Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat
radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka
perubahan struktural akan efektif.
Pierre van Berghe (1963) mengemukakan
empat fungsi konflik;
1. Sebagai alat untuk
memelihara solidaritas.
2. Membantu menciptakan
ikatan aliansi dengan kelompok lain.
3. Mengaktifkan peranan
individu yang semula terisolasi.
4. Fungsi komunikasi.Sebelum
konflik, kelompok tertentu mungkin tidak mengetahuai
posisi
lawan. Tapi dengan adanya konflik, posisi dan batas antara kelompok
menjadi
lebih
jelas. Individu dan kelompok tahu secara pasti di mana mereka berada dan
karena itu
dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan lebih
tepat.
Kesimpulan penting yang dapat diambil
adalah bahwa teori konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan
stabilitas yang memang ada dalam masyarakat disamping konflik itu sendiri.
Masyarakat selalu dipandang dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam
masyarakat. Masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan
pertentangan. Seperti membenarkan Hobbes yang mengatakan : bellum
omnium contra omnes (perang antara semua melawan semua).
C. Paradigma Definisi Sosial
Max Weber sebagai tokoh paradigma ini
mengartikan sosiologi sebagai suatu studi tentang tindakan sosial antar
hubungan sosial. Yang dimaksud tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang
tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan
kepada tindakan orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada
benda mati atau objek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang
lain bukan merupakan tindakan sosial. Tindakan seseorang melempar batu ke
sungai bukan tindakan social. Tapi tindakan tersebut dapat berubah menjadi
tindakan social kalau dengan melemparkan batu tersebut menimbulkan reaksi dari
orang lain seperti mengganggu seseorang yang sedang memancing.
Secara definitif Weber merumuskan
Sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative
understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk
sampai kepada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep
dasarnya. Pertama konsep tindakan sosial, kedua konsep tentang penafsiran dan
pemahaman.Konsep terakhir ini ini menyangkut metode untuk menerangkan yang
pertama.
Konsep pertama tentang tindakan sosial
yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada
orang lain. Juga dapat berupa tidakan yang bersifat ‘membatin’ atau bersifat
subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu.
Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh
situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan pasif dalam situasi tertentu.
Bertolak dari konsep dasar
tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial sosial itu Weber mengemukakan
lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu :
1. Tindakan manusia, yang menurut si
aktor mengandung makna yang subyektif. Ini
meliputi
berbagai tindakan nyata.
2. Tindakan nyata dan yang
bersifat, membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh
positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja
diulang serta
tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan
kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan
tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
Untuk mempelajari tindakan sosial itu
Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative
understanding), atau menurut terminology Weber disebut dengan verstehen.
Bila seseorang hanya berusaha meneliti perilaku (behavior) saja, dia tidak akan
meyakini bahwa perbuatan itu mempunyai arti subyektif dan diarakan kepada orang
lain. Maka yang perlu dipahami adalah motif dari tindakan
tersebut. Menurut Weber ada 2 cara memahami motif tindakan yaitu :
1) kesungguhan, 2) mengenangkan dan menyelami pengalaman si actor. Peneliti
menempatkan dirinya dalam posisi si actor serta mencoba memahami sesuatu yang
dipahami si actor.
Atas dasar rasionalitas tindakan sosial,
Weber membedakannya dalam empat tipe, dimana semakin rasional tindakan sosial
itu semakin mudah dipahami, empat tipe itu adalah :
a. Zwerk rational, yakni
tindakan sosial murni,. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai
cara yang terbaik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari
tujuan itu sendiri.
b. Werktrational action, dalam
tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilinya itu
merupakan yang paling tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Dalam tindakan ini
memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk
dibedakan, namun tindakan ini rasional karena pilihan terhadap cara-cara sudah
menentukan tujuan yang diinginkan.
c. Affectual action, adalah
tindakan yang dibuat-buat, dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si
aktor. Tindakan ini sukar dipahami kurang atau tidak rasional.
d.Traditional action, tindakan
yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu
saja.
Kedua tipe tindakan yang terakhir sering
hanya merupakan tanggapan secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Karena
itu tidak termasuk dalam jenis tindakan yang penuh arti yang menjadi sasaran
penelitian sosiologi.
Konsep kedua dari Weber adalah
konsep tentang antar hubungan social (social relationship).
Hubungan sosial didefinsikan sebagai tindakan yang beberapa orang aktor yang
berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dan dihubungkan serta
diarahkan kepada tindakan orang lain. Tidak semua kehidupan kolektif memnuhi
syarat sebagai antar hubungan sosial, dimana tidak ada saling penyesuaian (mutual
orientation) antara orang yang satu dengan yang lain meskipun ada
sekumpulan orang yang diketemukan bersamaan.
Ada tiga teori yang termasuk ke dalam
paradigma definisi sosial ini, yakni : Teori aksi (action theory), teori
interaksionisme simbolik (symbolic interactionism) dan teori
fhenomenologi (fhenomenology). Ketiga teori ini mempunyai kesamaan ide
dasarnya yang berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang aktif
dan kreatif dari realitas sosialnya. Artinya tindakan manusia tidak
sepenuhnya ditentukan norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan
sebagainya yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial. Manusia mempunyai
cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial.
Di sini pula terletak perbedaan yang
sebenarnya antara paradigma definisi sosial dengan paradigma fakta sosial.
Paradigma fakta sosial menganggap bahwa perilaku manusia dikontrol oleh
berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya.
Sedangkan paradigma perilaku sosial (social behavior) adalah bahwa yang
terakhir ini melihat tingkahlaku manusia senantiasa dikendalikan oleh
kemungkinan penggunaan kekuasaan atau kemungkinan penggunaaan kekuatan (re-enforcement).
Penganut paradigma Definisi Sosial cenderung
menggunakan metode observasi dalam penelitian mereka. Alasannya adalah untuk
dapat memahami realitas intrasubjective danintersubjective dari
tindakan sosial dan interaksi sosial. Namun kelemahan teknik observasi adalah
ketika kehadiran peneliti di tengah-tengah kelompok yang diselidiki akan
mempengaruhi tingkah laku subyek yang diselidiki itu. Lagipula tidak semua
tingkah laku dapat diamati, seperti tingkah laku seksual misalnya.
1. Teori Aksi (Action Theory)
Tokoh-tokoh Teori Aksi di antaranya Florian
Znaniecki, The Method of Sociology (1934) dan Social
Actions (1936), Robert Mac Iver, Sociology: Its Structure and
Changes (1931), Talcot Parsons; The Structure of Social Action (1937).
Beberapa asumsi dasar fundamental dari
Teori Aksi dikemukakan Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan
Parson sebagai berikut ;
a. Tidakan manusia muncul
dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi
ekternal
dalam posisinya sebagai obyek.
b. Sebagai subyek manusia bertindak atau
berperilaku untuk mencapai tujuan–tujuan
tertentu,
jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan.
c. Dalam bertindak manusia
menggunakan cara, teknik, prosedur, metode serta
perangkat
yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
d. Kelangsungan tindakan
manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah
dengan
sendirinya.
e. Manusia memilih, menilai
dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang
dan yang
telah dilakukannya.
f. Ukuran-ukuran,
aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat
pengambilan
keputusan.
g. Studi mengenai antar
hubungan social memerlukan pemakaian teknik penemuan
yang
bersifat subjektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic
reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious
experience).
Kesimpulan utama yang dapat diambil
adalah bahwa tindakan sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat dalam
pengambilan keputusan-keputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai
tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemua itu dibatasi
kemungkinan-kemungkinannya oleh sistem kebudayaan dalam bentuk norma-norma,
ide-de dan nilai-nilai sosial. Di dalam menghadapi yang yang bersifat kendala
baginya itu, aktor mempunyai sesuatu di dalam dirinya berupa kemauan bebas.
2. Teori Interaksionisme Simbolik
Tokoh-tokoh teori Interaksionisme
Simbolik adalah John Dewey, Charles Horton Cooley, G.H. Mead. Ide dasar teori
ini bersifat menentang behaviorisme radikal yang dipelopori oelh JB Watson. Hal
ini tercermin dari gagasan tokoh sentral teori ini yakni G.H. Mead yang
bermaksud untuk membedakan teori interaksionisme simbolik dengan teori
behavioralisme radikal.
Behaviorisme Radikal berpendirian bahwa
perilaku individu adalah sesuatu yang dapat diamati. Mempelajari tinglahlaku (behavior)
manusia secara obyektif dari luar. Penganut behaviorisme cenderung melihat
perilaku manusia itu seperti perilaku binatang dalam arti hanya semata-mata
merupakan hasil rangsangan dari luar.
Mead dari Interaksionisme Simbolik,
mempelajari tindakan sosial dengan mempergunakan teknik intropeksi untuk dapat
mengetahui sesuatu yang melatarbrlakangi tindakan sosial tu dari sudut aktor
dengan pengggunaan bahasa serta kemampuan belajar yang tidak dimiliki oleh binatang.
Menurut teori Interaksionisme Simbolik ,
fakta sosial bukanlah sesuatu yang mengendalikan dan memaksa tindakan manusia.
Fakta sosial ditempatkan dalam kerangka simbol-simbol interaksi manusia. Teori
ini menolak pandangan paradigma fakta sosial dan paradigma perilaku
sosial ( social behavior) yang tidak mengakui arti penting
kedudukan individu. Padahal kenyataannya manusia mampu menciptakan dunianya
sendiri.
Bagi paradigma fakta sosial, individu
dipandangnya sebagai orang yang terlalu mudah dikendalikan oleh kekuatan yang
berasal dari luar dirinya sendiri seperti kultur, norma, dan
peranan-peranan sosial. Sehingga pandangan ini cenderung mengingkari
kenyataan bahwa manusia mempunyai kepribadian sendiri. Sedangkan paradigma perilaku
sosial melihat tingkah laku.
Beberapa asumsi tori Interaksionisme
Simbolik menurut Arnold Rose :
1. Manusia hidup dalam suatu lingkungan
simbol-simbol. Manusia memberikan
tanggapan
terhadap simbol-simbol melalui proses belajar dan bergaul dalam
masyarakat. Kemampuan manusia
berkomunikasi, belajar, serta memahami simbol-
simbol itu
merupakan kemampuan yang membedakan manusia dengan binatang.
2. Melalui simbol-simbol manusia
berkemampaun menstimulir orang lain dengan cara
yang mungkin
berbeda dari stimuli yang diterimanya dari orang lain.
3. Melalui komunikasi simbol-simbol
dapat dipelajari sejumlah besar arti dan nilai-nilai,
dan karena itu
dapat dipelajari cara-cara tindakan orang lain.
4. Terdapat satuan-satuan kelompok yang
mempunyai simbol-smbol yang sama., atau
akan ada
simbol kelompok.
5. Berfikir merupakan proses pencarian
kemungkinan yang bersifat simbolis dan untuk
mempelajari
tindakan-tindakan yang akan datang, menaksir keuntungan dan kerugian
relative menurut
individual, di mana satu diantaranya dipilih untuk dilakukan.
Kesimpulan utama dari teori
Interksionisme Simbolik bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses
interaksi dan komunikasi antara individu dan antar kelompok dengan menggunakan
simbol-simbol yang dipahaminya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam
proses interkasi bukan semata-mata tanggapan yang bersifat langsung terhadap
stimulus yang datang dari lingkungannya, tetapi melalui proses belajar.
3. Teori Fenomenologi (Phenomenological
Sociology)
Ada empat unsur pokok dari teori
Fenomenologi Yaitu :
1. Perhatian terhadap aktor dengan
memahami makna tindakan aktor yang ditujukan
kepada
dirinya sendiri.
2. Memusatkan perhatian kepada kenyataan
yang penting atau pokok dan kepada sikap
yang wajar atau
alamiah (natural attitude). Teori ini jelas bukan bermaksud fakta
sosial
secara langsung. Tetapi proses terbentuknya fakta sosial itulah yang menjadi
pusat
perhatiannya. Artinya bagaimana individu ikut serta dalam proses
pembentukan
dan pemeliharaan fakta-fakta sosial yang memaksa mereka itu.
3. Memusatkan perhatian kepada masalah
makro. Maksudnya mempelajari proses
pembentukan dan
pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka
untuk memahaminya
dalam hubungannya dengan situasi tertentu.
4. Memperhatikan pertumbuhan, perubahan
dan proses tindakan. Berusaha memahami
bagaimana
keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan
sehari-hari.
Norma-norma dan aturan-aturan yang mengendalikan tindakan manusia
dan yang
memantapkan struktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi si aktor
terhadap
kejadian-kejadian yang dialaminya.
D. Paradigma Perilaku Sosial
Tokoh pendekatan behaviorisme ini adalah
B.F. Skinner yang memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi
behavior. Skinner mengkritik obyek studi paradigma fakta sosial dan definisi
sosial bersifat mistis tidak konkrit relistis. Obyek studi sosiologi yang
konkrit realistis adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan
perulangannya (behavior of man and contingencies of reinforcement).
Paradigma perilaku sosial memusatkan
perhatiaannya kepada hubungan antara individu dengan lingkungannya, dimana
lingkungan itu terdiri atas : a) bermacam-macam obyek social dan b)
bermacam-macam obyek non sosial. Prinsip yang menguasai antar
hubungan individu dengan obyek sosial adalah sama dengan prinsip
yang menguasai hubungan antara individu dengan obyek non
sosial. Pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah
tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor-faktor
lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor
lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkahlaku.
Bagi paradigma perilaku sosial individu
kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikan ditentukan oleh
sifat dasar stimulus yang datang dari luar dirinya. Jadi tingkah laku manusia
lebih bersifat mekanik. Beda dengan paradigma definisi sosial yang menganggap
aktor adalah dinamis dan mempunyai kekuatan kreatif di dalam proses
interaksinya. Ada dua teori yang termasuk ke dalam paradigma Perilaku Sosial,
yakni Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
Paradigma ini lebih banyak menggunakan
metode eksprimen dalam penelitiannya. Keutamaan metode eksprimen ini adalah
memberikan kemungkinan terhadap penelitian untuk mengontrol dengan ketat obyek
dan kondisi di sekitarnya. Metode ini memungkinkan pula untuk membuat penilaian
dan pengukuran dengan tingkat ketepatan yang tinggi terhadap efek dari
perubahan-perubahan tingkahlaku aktor yang ditimbulkan dengan sengaja di dalam
eksprimen. Walaupun eksprimen merupakan suatu metode penelitian langsung yang
agak baik terhadap tingkahlaku aktor, namun peneliti masih dituntut untuk
mengamati perilaku lanjut aktor yang sedang diteliti.
1. Teori Behavioral Sociology
Teori ini memusatkan perhatiannya
kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam
lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Akibat tingkah laku diperlakukan
sebagai variabel independen. Ini berarti teori ini berusaha menerangkan tingkah
laku yang terjadi melalui akibat-akibat yang meengikutinya. Konsep dasar teori
ini yang menjadi pemahamannya adalah “reinforcement” yang dapat
diartikan sebagai ganjaran (reward). Tak ada sesuatu yang melekat dalam
objek yang dapat menimbulkan ganjaran. Sesuatu ganjaran yang tak membawa
pengaruh terhadap aktor tidak akan diulang. Contohnya tentang
makanan sebagai ganjaran yang umum dalam masyarakat. Tetapi bila sedang tidak
lapar maka makan tidak akan diulang. Bila si aktor telah kehabisan
makanan, maka ia akan lapar dan makanan akan berfungsi sebagai pemaksa.
2. Teori Exchange
Tokoh utama teori ini adalah George
Homan, teori ini dibangun dengan maksud sebagai reaksi terhadap paradigma fakta
sosial, yang menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga
jurusan, yakni :
a) pandangan tentang emergence.
Selama berlangsung interaksi timbul fenomena baru
yang tidak
perlu proposisi baru pula untuk menerangkan sifat fenomena baru yang
timbul
tersebut.
b) pandangan tentang
psikologi. Sosiologi dewasa ini sudah berdiri sendiri lepas
dari
pengaruh
psikologi.
c. Metode penjelasan
Durkheim. Fakta sosial tertentu selalu menjadi penyebab
fakta
sosial yang lain yang perlu dijelaskan melalui pendekatan perilaku
(behavioral),
yang bersifat psikologi.
Keseluruhan materi Teori Exchange secara
garis besarnya dapat dikembalikan pada 5 proposisi George Homan yaitu :
1. Jika tingkahlaku
tingkahlaku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus
dan
situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkahlaku atau
kejadian
yang mempunyai hubungan dan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi
atau
dilakukan.
2. Menyangkut frekuensi ganjaran yang
diterima. Makin sering dalam peristiwa tertentu
tingkahlaku
seseorang memberikan ganjaran terhadap tingkahlaku orang lain, makin
sering pula
orang lain itu mengulang tingkahlakunya itu.
3. Memberikan arti atau nilai pada
tingkahlaku yang di arahkan oleh orang lain terhadap
aktor. Makin
bernilai bagi seseorang sesuatu tingkahlaku orang lain yang ditujukan
kepadanya makin
besar kemungkinan atau makin sering ia akan mengulangi
tingkahlakunya
itu.
4. Makin sering orang menerima ganjaran
atas tindakannya dari orang lain, makin
berkurang nilai
dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya.
5. Makin dirugikan seseorang
dalam dalam hubungannya dengan orang lain, makin
besar
kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi.
RINGKASAN
Paradigma adalah pandangan fundamental
tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) disiplin
tertentu. Paradigma adalah kesatuan konsensus yang terluas dalam satu disiplin
yang membedakan antara komunitas ilmuwan (sub komunitas) yang satu
dengan yang lain. Ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan paradigmatik dalam sosiologi ; 1) perbedaan pandangan pandangan
filsafat yang mendasari pemikiran masing-masing sosiolog tentang pokok
persoalan yang semestinya dipelajari sosilogi. 2) Akibat logis yang
pertama, maka teori-teori yang dibangun dan dikembangkan masing-masing
komunitas ilmuwan berbeda. 3) Metode yang dipakai untuk memahami dan
menerangkan substansi disiplin inipun berbeda. Atas dasar perbedaan pandangan mengenai
apa yang semestinya dipelajari dalam sosiologi itulah terdapat tiga paradigma
sosiologi dewasa ini yaitu, paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial
dan paradigma perilaku sosial.
Paradigma Fakta Sosial menempatkan fakta
sosial menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Bahwa fakta sosial tidak
dapat dipelajari dengan introspeksi melainkan harus diteliti secara empiris.
Dalam penelitiannya penganut paradigma ini cenderung menggunakan metode
interview dan kuesioner. Exemplar paradigma fakta social adalah karya
Durkheim Suicide dan The Rule of Sociological Method. Dalam
paradigma ini pokok persoalan yang menjadi pusat perhatian adalah fakta-fakta
sosial yang pada garis besarnya terdiri atas dua tipe, masing-masing struktur
sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution).
Teori yang tergabung dalam paradigma ini adalah teori fungsionalisme
structural, teori konflik, teori system, dan sosiologi makro.
Paradigma Definisi Sosial menempatkan
pokok persoalan sosiologi adalah proses pendefinisian sosial dan akibat-akibat
dari suatu aksi serta interaksi sosial. Exemplar paradigma ini adalah karya Max
Weber tentang tindakan sosial (social action) Paradigma Definisi
Sosial secara pasti memandang manusia sebagai orang yang aktif menciptakan
kehidupan sosialnya sendiri. Ada tiga teori yang termasuk dalam paradigma ini
yaitu : teori aksi sosial, teori interaksionisme simbolik dan teori
fenomenologi. Metode yang umum digunakan penganut paradigma definisi
sosial ialah observasi.
Paradigma Perilaku Sosial menempatkan
pokok persoalan sosiologi ialah perilaku dan perulangannya. Bagi paradigma ini
perilaku sosial individu kurang sekali memiliki kebebasan. Ada dua toeri yang
termasuk dalam paradigma ini yaitu teori sosiologi behavioral dan teori
pertukaran (exchange theory). Paradigma Perilaku Sosial lebih banyak
menggunakan metode eksprimen dalam penelitiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar